Rabu, 22 April 2009

my first 'cerpen'

‘Penthong’




Entah dari mana datangnya bocah laki-laki kecil itu, suatu hari dia hanya duduk di trotoar tanpa mendekat ke setiap mobil yang berhenti dan menunggu lampu hijau seperti yang dilakukan kebanyakan pengemis lainnya, dia justru asyik memainkan mobil mobilan kecilnya, umurnya mungkin baru sekitar 4 tahunan, wajahnya yang lugu tampak kotor dan dekil oleh debu debu jalanan, dia seolah menikmati dunianya sendiri dan tidak mempedulikan sekelilingnya sama sekali. Lampu hijau segera menghentikan pikiranku tentang bocah laki-laki kecil itu, segera ku laju motorku dengan kecepatan penuh.

langit sudah gelap dan hujan mulai turun perlahan sewaktu ku tiba di rumah. Walau rumah ibuku sangatlah sederhana dan sempit, tapi paling tidak masih bisa melindungi kami berdua dari panas dan hujan, tak urung pikiranku melayang kembali pada bocah kecil di perempatan tadi, dimana dia berlindung dari hujan malam ini? Apakah dia punya rumah dan juga keluarga yang akan mengkhawatirkannya, aku harap dia punya, Tapi sepertinya tidak…

Malam sudah sangat larut, namun mataku sama sekali tak mau terpejam, sungguh tak seperti biasanya, bocah itu…kenapa dia masih tak mau pergi dari kepalaku ???. ada banyak perempatan jalan yang ku lewati dari rumah menuju tempatku bekerja, dan hampir di setiap perempatan selalu ada dua atau tiga pengemis yang ku temui, tapi tak satupun dari mereka mengusik hatiku seperti kehadiran bocah itu,…

* * *

Besok sorenya sepulang kerja, sengaja ku menepi ke dekat trotoar, bocah itu tengah berdiri memeluk tiang lampu jalan, dia masih memakai pakaian yang sama dengan yang kemarin, hanya saja pakaian itu terlihat lebih kusut dan kotor, mobil-mobilan kecilnya tergenggam erat di tangannya, kaki kirinya lebih kecil dari kaki kanannya, tadinya aku hanya ingin menepi dan memberinya uang 5 ribu dan sebungkus roti, tapi entah kenapa tiba tiba rencana itu berubah, tiba tiba ku ingin memeluknya, membawanya pulang, memandikannya dengan air hangat, mengenakannya pakaian yang bersih dan nyaman, membuatkannya susu coklat hangat dan nasi goreng special…

Ku turun dari sepeda motorku dan menghampirinya, beberapa pengendara lain tak dapat menyembunyikan keheranannya atas sikapku, saat lampu hijau menyala ku beri dia selembar 10 ribuan, dia melepaskan pelukannya pada tiang lampu jalan dan menerima uang itu, seulas senyum yang bahagia yang tulus menghiasi wajahnya.

“ siapa namamu, de ?” tanyaku.
sedetik, dua detik, tiga detik, dia masih tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.

“ kau sudah makan, de ?” tanyaku lagi, dengan masih tersenyum dia menggelengkan kepalanya, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ku keluarkan sebungkus roti sobek rasa coklat ukuran besar yang ku beli di bakeri samping kantorku, dia menerimanya dengan senyuman lebih lebar dan kemudian melenggang pergi dengan ceria, mataku basah menyaksikan dia berjalan terpincang-pincang, ya Tuhan…lidungilah dia, limpahkanlah kebahagiaan dan kemudahan baginya, amien.

* * *

“ ngga bisa !!!, kamu pikir ngadopsi anak itu mudah??? ngga segampang yang kamu pikir, fan” ujar ibuku marah. Beliau sangat kaget waktu aku mengutarakan niatku untuk mengasuh penthong, ya_tak ada seorangpun yang tahu nama aslinya, nama penthong atau dalam bahasa Indonesia artinya pincang, itupun ku dapat dari para tukang becak yang nongkrong di perempatan jalan tersebut, sama halnya denganku mereka tidak tahu asal usul penthong, mereka menyebutnya dengan nama itu karena melihat keadaan kakinya yang memang tidak normal. Dan yang lebih menyedihkan, selain dia pincang, dia juga tak bisa bicara, karena selain aku, ternyata tukang-tukang becak itu juga pernah mencoba menanyakan namanya dan juga asal-usulnya, tapi penthong Cuma menjawab dengan tatapan matanya yang kosong, tanpa sepatah katapun keluar.

“ bu, kita ngga perlu mengadopsi secara legal, yang ku maksud aku hanya ingin mengasuhnya, memberinya tempat berlindung dari panas dan hujan, menyayanginya seperti adikku sendiri, memberinya makan dan pakaian, aku juga akan mengajarinya membaca dan mengaji, itu saja tidak lebih bu…” ku terus berargumen, ibuku hanya memberi jawaban dengan menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.

“ sudahlah fani, ibu ngga mau ribut seperti ini, pokoknya keputusan ibu sudah bulat, kamu ngga boleh ngasuh anak kecil itu, terserah ibu ngga akan melarang kamu, kalau kamu mau membantu dengan cara memberinya sedekah, itu saja sudah cukup…” ibuku menghela napas panjang. “ ingat fani, kita sendiri juga masih susah, ibu Cuma janda, dan kamu sendiri juga baru bekerja 4 bulan kan?, lebih baik kita benahi hidup kita sendiri dulu, kita sekarang sholat isya aja dan berdo’a untuknya, semoga saja ada orang kaya yang juga tersentuh ingin menolong anak kecil itu, ibu ke mushola duluan ya!”

Aku masih berdiri, tak tahu harus berbuat apa, mengapa ibuku yang sangat lembut perasaannya bisa tak tersentuh hatinya dengan ceritaku tentang penthong, apa salahnya menolong anak kecil 4 tahun dari kejamnya kehidupan luar, apa salahnya jika aku ingin dia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu seperti masa kecilku dulu?, ya Tuhan, bukakan pintu hati ibuku, lunakan hatinya agar aku di ijinkan mengasuh penthong.


* * *


Sekarang hampir setiap sore sepulang kerja, sebisa mungkin aku sempatkan menepi ke trotoar dan memberi penthong makanan atau uang sekedarnya, dapat ku rasakan adanya ikatan yang dalam padanya, dari penthong aku semakin bisa belajar bersyukur atas karuniaNYA. Penthong pun makin hari makin ramah, walau kadang saat aku buru-buru dan tak bisa mendekatinya, dia tetap memberiku senyuman tulus yang mendamaikan hati.

Hari ini aku gajian, sengaja aku membeli sehelai sarung kotak-kotak untuk penthong, namun sepulang kerja, ku lihat seorang lelaki mendekati penthong, dari penampilannya dia mungkin berusia sekitar 45 tahunan, dia tampak rapih dan kebapakan, dia membawa satu kantong plastik penuh yang sepertinya berisi makanan kecil, penthong menerimanya dengan senyuman lebar khasnya, dapat ku maklumi jika bapak-bapak itu iba pada penthong, meski penthong tak pernah meminta-minta seperti pengemis dan anak-anak jalanan lainnya, hanya dengan melihat matanya dan keadaannya, itu saja sudah sangat membuat kita iba. Ku lirik sarung kotak-kotak yang ku jepit di jepitan motorku, mungkin lebih baik ku berikan itu pada penthong besok saja, ku lihat penthong sekilas,dan dia tersenyum tulus seperti biasanya padaku, ku balas senyumannya sebelum akhirnya ku laju motorku pulang.

* * *


Sudah 3 hari penthong tak tampak batang hidungnya, aku tak tahu apa dia sakit atau kenapa, dan aku juga tak tahu harus menanyakan dan mencari dia kemana, apa mungkin penthong mulai bosan dan dia pindah lokasi, ya_bisa saja begitu, tapi entahlah, hati kecilku mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Segera ku tepis perasaan itu, sarung kotak kota itu masih di jepitan motorku, aku harus segera cari informasi.

“ maaf pak, bapak lihat Anak laki-laki umur 4 tahunan yang biasa duduk di trotoar itu ngga pak” tanyaku sambil menunjuk tempat yang ku maksud pada tukang becak yang sedang asyik mengobrol dengan sesama rekannya.

“ oh penthong ya mba, sudah 3 hari ini dia memang ngga kelihatan, kita tadi juga lagi ngomongin dia nih” ujarnya sambil memandang teman-temannya, dan mereka langsung mengamininya. “ semoga aja, dia di ambil orang kaya untuk di asuh ya mba”

“ iya pak, makasih ya pak”

* * *
Seminggu telah berlalu, dan penthong masih tak di ketahui di mana rimbanya, aku sudah berusaha melapor pada polisi, sayangnya karena dianggap gelandangan mereka enggan untuk melakukan pencarian, tak peduli walau sudah kukatakan bahwa penthong masih amat belia, kakinya cacat dan tak bisa berbicara, mereka tetap tak bereaksi, polisi-polisi itu hanya mencoba menenangkanku dengan mengatakan anak itu pasti kena garukan dinas sosial, kalau ngga pindah lokasi yang lebih ramai dan menjanjikan, intinya mereka tidak mau bersusah-susah mencari anak kecil-gelandangan-tanpa nama !!!

Sarung kotak-kotak itu terus ku bawa kemanapun ku pergi, di setiap pemberhentian lampu merah mataku selalu jelalatan kesana-kemari mencari sosok penthong, aku sangat berharap tiba-tiba penthong muncul entah dari mana dan dia baik-baik saja, tapi hari demi hari harapan itu makin terpupus, penthong tak juga muncul.

Suatu pagi, aku sudah bersiap-siap ke kantor, ketika ku lihat ibuku menangis tersedu-sedu di kursi teras, sebuah koran langganan kami tergeletak di pangkuannya.

“ ibu kenapa???” Tanya ku khawatir.

“ fanni…huk…huk” ibuku makin tersedu, beliau langsung berdiri dan memelukku erat, aku makin bingung ada apa sebenarnya. Ku ambil koran pagi yang terjatuh dari pangkuan ibuku, sebuah headline bertuliskan “LAGI LAGI KORBAN PAEDOFIL DI TEMUKAN” mayat seorang anak laki-laki di tafsir berumur sekitar 4 tahunan di temukan mengambang di sungai, di temukan beberapa luka tusukan di dada dan perut, tapi di duga keras anak tersebut adalah korban paedofil yang akhir-akhir ini bergentayangan, seseorang mengenali jenasah tersebut sebagai ‘penthong’, yaitu anak jalanan yang biasa mangkal di perempatan jalan gatot subroto, di ketahui juga bahwa anak laki-laki tersebut memang sudah tidak terlihat sejak sekitar seminggu yang lalu, namun nama atau identitas yang lainnya belum di ketahui, hanya terdapat satu ciri-ciri yaitu ukuran kaki kirinya jauh lebih kecil dari kaki kanannya……

“ itu hanya kebetulan, pasti hanya kebetulan !, korban itu tidak mungkin penthongku, mungkin ada juga anak jalanan lain yang mirip dengan penthong !!!” batinku.
Tanganku bergetar hebat, ku buka lipatan koran itu yang memuat foto anak laki-laki tersebut, dan jantungku terasa berhenti berdetak, saat wajah yang selama ini sangat ingin ku lihat senyumnannya tercetak besar, penthong terpejam, wajah itu lebam, wajah itu…, ini tak mungkin…koran itupun terjatuh bersamaan dengan tubuhku.


* * *

Cilacap, 5 april 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar